Rabu, 15 Februari 2012


Perjalanan Gus Dur Menziarahi Makam Syeikh Hubbudddin (Wonosobo)

Perjalanan Gus Dur Menziarahi Makam Syeikh Hubbudddin Jakarta, NU Online Tak peduli di tengah hutan atau diatas gunung, jika ada makam wali, Gus Dur akan berusaha menziarahinya, sekalipun dengan segala keterbatasan fisik yang dialaminya. Dengan tekad kuatnya tersebut, segala rintangan dapat dilaluinya. Di Wonosobo, daerah yang menjadi atap langitnya Jawa Tengah, terdapat seorang wali bernama Syeikh Hubbuddin yang dimakamkan di daerah tersebut. Tak ada orang yang tahu dimana makam yang sebenarnya. Sastro Al Ngatawi, mantan asisten pribadi Gus Dur menuturkan, bersama Gus Dur mereka sampai di Wonosobo hampir subuh, lalu mampir di salah satu pesantren di kota tersebut. Ditemani beberapa Gus (putra kiai), mereka berangkat ke sebuah daerah yang diyakini masyarakat menjadi makam wali tersebut, posisinya tepat dibawah sebuah pohon besar tetapi Gus Dur tak menghiraukannya. Lalu mereka segera berjalan menuju lokasi lain, ditengah-tengah perjalanan tersebut, rombongan tersebut bertemu dengan orang tua. Dalam suasana yang masih sepi tersebut, mereka mengamati orang tua yang terus berjalan di tengah-tengah sawah. Tiba-tiba saja, ketika ditengah sawah itu orang tua tersebut menghilang. Gur Dur pun berujar, "Ya itu tadi Syeikh Hubbuddin dan ditengah-tengah sawah tadi makamnya," katanya. Di Desa Candirejo Kecamatan Mojotengah Kabupaten Wonosobo Jawa Tengah terdapat sebuah makam kuno. Konon, makam tersebut bersemayam jazad seorang tokoh pembawa alirah Tarekat Naqsbandiyah pertama kali di tanah Jawa yaitu Syekh Abdullah Qutbudin . Dia berasal dari Iran dan menyebarkan agama Islam dengan membawa bendera tarekat yang kemudian menyatu dengan kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan diyakini, Candirejo sendiri merupakan desa Islam pertama di Jawa karena kedatangan Syekh Abdullah Qutbudin ini. Belum ada penelitian ilmiah yang mengupas Syekh Abdullah Qutbudin ini. siapa dirinya dan bagaimana sepak terjangnya dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa, khususnya di Wonosobo. Hingga kini cerita tentang tokoh tersebut masih dari mulut ke mulut saja. Sebelumnya masyarakat tidak mengetahui siapa yang dikuburkan di makam tersebut, sehingga makam itu seakan dibiarkan saja. Sampai akhirnya pada tahun 1994, Alm. Abdurrahman Wahid alias Gus Dur datang ke Desa Candirejo mengunjungi makam. Penduduk setempat sebelumnya tidak tahu ada makam tokoh terkenal Islam karena makamnya tidak sendirian, tapi menjadi satu dengan kuburan masyarakat desa. Tidak seperti tokoh-tokoh lain, yang makamnya berada di ketinggian atau sendirian. Makam Syekh Qutbudin ini campur dengan makam desa. Sejak dikunjungi Gus Dur, makam Syekh Abdullah Qutbudin mulai ramai peziarah. Gus Dur yang menemukan makam tokoh yang bersejarah dalam perkembangan Islam di Jawa ini. Menurut cerita KH Chabibullah Idris selaku ulama terkenal di Wonosobo, Gus Dur pada tahun 1994 meminta dirinya untuk menemani mencari makam Syekh Abdullah Qutbudin yang berada di candi. KH Chabibullah Idris saat itu tidak paham betul yang dimaksud candi itu nama desa atau kawasan candi di Dataran Tinggi Dieng. Menurut Gus Dur, Islam pertama kali masuk ke Jawa di candi. KH Chabibullah Idris ini tidak tahu candi itu mana, apakah komplek candi Dieng atau di mana. Gus Dur datang ke Wonosobo dan memintanya untuk menemani mencari makam tokoh Islam ini tersebut. Peristiwa tersebut jauh sebelum Gus Dur menjadi Presiden RI. Tokoh kharismatik ini memang memiliki kepedulian tinggi terhadap peninggalan bersejarah termasuk mencari makam-makam yang memiliki nilai sejarah tinggi. Seperti halnya makam Syekh Abdullah Selomanik di Dusun Kalilembu, Dieng Wetan yang juga merupakan tokoh religius. Menurut cerita Gus Dur, Syekh Abdullah ini mendirikan pesantren di Desa Candirejo namun karena tidak memiliki keturunan, lama-kelamaan pesantrennya tersebut hancur. Ini bisa dilihat dari banyaknya batu-batu candi yang berada di sekitar makam. Diawali dari kedatangan Gus Dur tersebutlah, makam akhirnya banyak diziarahi masyarakat, terutama dari kalangan pondok pesantren. Dikatakan KH Chabib mengutip pengakuan warga Candirejo, bertahun-tahun lalu, makam itu pernah didatangi orang asing yang juga berprofesi sebagai antropolog dari Eropa yang tengah mengadakan penelitian. Muncul Cahaya di Atas Makam Desa Candirejo Kecamatan Mojotengah tidak terlalu jauh dari Kota Wonosobo. Hanya sekitar 8 kilometer, dapat ditempuh dengan mobil maupun kendaraan roda dua. Jalan menuju desa tersebut cukup bagus, sudah beraspal meskipun tidak terlalu lebar. Namun ada sebagian jalan desa yang masih berbatu-batu. Makam Syekh Abdullah Qutbudin sendiri berada agak jauh dari desa. Lokasinya di tengah-tengah areal persawahan bercampur dengan makam umum warga setempat. Letak makam dari perkampungan Candirejo sekitar 1 kilometer, sepanjang jalan menuju makam pengunjung akan disuguhi pemandangan hamparan tanah pertanian berupa tanaman kol, padi dan jagung. Banyak juga pohon-pohon albasia yang tumbuh subur disana. Di dekat makam terdapat sumber air yang sangat jernih dan dingin serta terus mengalir sepanjang waktu tak pernah kering meskipun musim kemarau. Ketika memasuki makam biasanya akan terkesan dingin dan sunyi lantaran komplek tersebut termasuk makam kuno yang ditumbuhi banyak pohon-pohon besar berusia ratusan tahun. Makam Syekh Abdullah Qutbudin sendiri berada persis di sebelah kiri pintu masuk dan berada di tengah-tengah akar yang bertonjolan. Sangat sederhana tidak ada cungkup atau kijing mewah hanya berupa gundukan tanah yang pinggir-pinggirnya diberi batu-batu. Selain itu terdapat dua batu nisan berukir di kanan dan kirinya serta ada dua makam di sana yang berdampingan. Menurut warga, satunya adalah makam istri Syekh Abdullah Qutbudin. Di sekitarnya berserakan batu-batu tua berbentuk persegi panjang seperti bata. Diyakini batu tersebut adalah bekas bangunan pondok pesantren milik Syekh Abdullah. Konon, Syekh Abdullah tidak mau makamnya dibangun mewah lantaran lebih memilih apa adanya berupa batu nisan yang berbentuk seperti candi. Menurut KH Chabibullah Idris, masyarakat sini sering melihat ada cahaya yang muncul dari makam. Pernah petani cabe menunggui tanamannya, tiba-tiba ada cahaya terbang dari makam. Pernah juga ada seorang pimpinan pondok pesantren bersama 12 santrinya berziarah. Lalu hujan sangat deras. Anehnya, mereka tidak kehujanan sama sekali. Dalam waktu dekat, jalan menuju makam akan diaspal agar memudahkan peziarah datang ke makam sekaligus didirikan tempat representatif. Apabila mulai ramai, diharapkan direspon warga dengan mendirikan tempat berjualan baik makanan maupun suvenir. Tidak ketinggalan dibangun juga tempat parkir yang memadai. Oleh sebab itu Pemerintah Kabupaten Wonosobo saat ini berusaha mengembangkan wisata religius dengan mengangkat potensi lokal setempat. source Makam Syekh Abdullah Selomanik, Dikunjungi Gus Dur dan Tokoh Nasional Syekh Abdullah Selomanik adalah keturunan Brawijaya V dari Majapahit. Putra Raden Bintoro I yang bergelar R Lembu Peteng (Kyai Tarup). Diyakini tokoh merupakan penyebar agama Islam pertama di Lembah Dieng. Sampai sekarang makamnya kerap dikunjungi para peziarah.Peziarah datang dari berbagai kota di luar Wonosobo. Makam ini menjadi terkenal setelah mantan Presiden RI Gus Dur berkunjung beberapa kali. Konon sebelum menjadi presiden Gus Dur kerap berziarah ke makam Syekh Abdullah Selomanik atau warga menyebutnya Mbah Abdullah. Biasanya ia datang malam hari atau dini hari dengan rombongan beberapa mobil. Sebulan bahkan bisa 3-4 kali datang. Saat suasana Jakarta memanas, konon Gus Dur memilih ziarah selama 4 hari di makam itu. Pada saat khaul, tidak kurang 10 ribu orang hadir di makam. Mereka berasal dari luar Kota Wonosobo. Makam Mbah Abdullah Selomanik dipugar tahun 2000. Pada saat digali terdapat kain kafan dan jenazahnya masih utuh. Konon, jenazah ini adalah para santri Abdullah Selomanik. Di sebelah bangunan makam terdapat pohon besar. Pada saat terjadi angin lisus besar, dahan ranting yang patah seharusnya jatuh tepat di makam di bawahnya. Anehnya, dahan justru menimpa makam di depannya agak jauh. Sementara makam tua di bawahnya tetap utuh. Untuk mencapai makam tersebut, pengunjung melewati rumah penduduk yang berdesak-desakan karena minim lahan pemukiman. Kemudian menaiki tangga yang telah dibangun sedemikian rupa. Sebelum berziarah, pengunjung disarankan untuk berwudlu agar bersih. Bangunan makam cukup besar, di tengahnya terdapat kijing besar yang ditutup kelambu. Ruangan dibagi dua untuk putra dan putri. Mereka dapat berdoa khusyuk di depan makam. Bila ingin menikmati pemandangan pegunungan, pengunjung dapat duduk-duduk di luar bangunan makam. Angin dingin khas pegunungan menghujam kulit. Kelelahan selama perjalanan bakal sirna melihat berderet-deret tanah pertanian di atas perbukitan. Berkunjung ke makam Abdullah Selomanik ini dapat dipadukan dengan wisata alam lain. Dari makam, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan ke Dataran Tinggi Dieng. Lalu lewat Desa Sembungan melihat Telaga Cebong, turun ke Desa Mlandi, mampir sejenak di curug Sikarim. Setelah itu singgah di Telaga Menjer yang airnya tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar